Sebuah Catatan Kecil Mengenai Hikmah Ibadah


Anak muda itu terduduk dan terdiam setelah menunaikan sholat Isya. Hatinya masih dilanda sisa kegundahan. Belakangan Tuhan telah berulangkali menguji keikhlasannya. Diraihnya mushaf  Al Quraan yang berada di dekatnya dan mulai lisannya berkomunikasi dengan sang Maha Pencipta. Satu, dua, dan beberapa lembar telah selesai dibacanya dengan berharap semoga tiap huruf yang dibacanya mendapatkan keutamaan dari Nya.

Kembali dia membuka halaman-halaman yang telah dibacanya dalam bahasa surga dan mulai dia membaca terjemahan dalam bahasa ibunya. Tak terasa air mata kembali membasahi pipinya ketika dia meresapi makna ayat-ayat penuh hikmah yang tadi telah dilantunkannya. Dengan penuh sabar dia mencoba menghafal sebagian dari apa yang dibacanya. Tak terasa sejam telah berlalu dari sejak dia mengambil air suci untuk mendirikan sholat sejenak lalu.

Pikirannya menerawang mencerna kehidupan. Tak pernah dia merasa dirinya sholih tatkala dia berkumpul dengan orang-orang yang dengan akhlak dan ibadah mereka membuat dirinya merasa rendah. Orang-orang yang pandangan matanya menyiratkan hikmah dan keteduhan, cahaya bersinar dari wajah mereka dan jiwa mereka memancarkan aura kesholihan. Masih harus perlu banyak beramal dan belajar serta menghafal bekal-bekal kehidupan dalam kitab suci dan tuntunan Rasul.

Namun ada rasa syukur yang membuncah di hatinya. Dia yakin bahwa hidayah itu masih diperkenankan oleh Nya untuknya. Sebab dia tidak merasa puas dengan hanya cukup berbakti pada Penciptanya dengan “sekedar” melaksanakan rutinitas sholat lima waktu, berpuasa, berzakat,  dan menjauhi dosa-dosa besar. Haus jiwanya akan petunjuk-Nya dan getir hatinya tanpa kasih Nya. Hatinya terpaut pada kepedihan yang ada nun jauh disana, terhadap orang-orang tertindas yang tercerabut hak-hak hidupnya oleh angkara murka. Paling tidak mereka dihadirkannya dalam doa-doa dan sholatnya. Hatinya terpaut usaha mendapatkan keridhoan Nya dan upaya menggapai keikhlasan menerima segala konsekuensi dari ucapan sederhana yang selalu dilantunkan dalam setiap sholatnya.

Asyhadu Alla Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rosululloh “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Nabi Muhammad Shollallahu ’Alayhi wa Sallam adalah utusan Allah.” Ucapan sederhana yang membuat dirinya memahami arti kehidupan dan mendorong dirinya untuk beribadah pada Tuhannya, menegakkan sunnah, melepaskan bid’ah dan berupaya untuk meninggalkan maksiat. Ucapan yang membuatnya memiliki misi hidup untuk menjadi sebaik-baiknya manusia, yaitu yang paling berguna bagi sesama. Terkadang dirinya gagal tersungkur dan terpukul, namun dia yakin segala usahanya mendapatkan balasan yang setimpal dari Dzat yang Maha Mengasihi,  mereka yang selalu mencoba menggapai keridhoan-Nya.

Dia tahu bahwa jalan menuju keridhoan yang dipilihnya memang jalan yang demikian sukar. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa banyak yang telah gagal menempuhnya. Dulu yang terlihat alim sekarang demikian dekatnya dengan segala kerusakan. Tapi dia juga melihat mereka yang terlihat rusak malah sekarang begitu dekat dengan segala amal sholih. Hidayah, diberikan pada siapapun yang dikehendaki Nya dan dicabut oleh Nya dari siapapun juga yang dikehendaki Nya (Al Baqarah: 272, Al Baqarah  :269).

Namun memang tidak ada asap bila tidak ada api. Bagaimana hidayah itu dapat datang bila batin tidak menghendakinya? Atau batin merindukannya namun tak kunjung ada usaha untuk menjemputnya? Bila hati telah merasa puas dengan sebatas sholat yang lima waktu ditunaikan namun tidak memerhatikan kualitasnya; menunaikan namun tidak mendirikannya. Apalagi dengan sikap yang serba reserve atas segala ketentuan Nya, selalu mencoba mencari celah atas hukum-hukum Nya karena dirinya merasa begitu terbelenggu dan ingin menikmati segala kebebasan nafsu dan akal yang banyak orang yang jauh dari tuntunan Nya telah menikmatinya. Kebebasan semu yang begitu menggoda dan kemudian menjerumuskan, namun kelak menyimpan konsekuensi yang terlampau mahal harganya.

Perlahan-lahan ditinggalkannya semua hal-hal yang dulu diyakininya haram dan mulai akal mengolahnya menjadi halal. Sebuah pemberontakan yang banyak orang mengalaminya dan mengusungnya dengan segala wacana, argumentasi dan retorika. Dirinya memang perlu belajar dari kaum pendahulu yang sholih dan mengingat-ingat kisah Nabi Ibrahim Alayhis Salam yang mendapatkan perintah yang demikian sulit dan sangat tidak masuk akal dari Tuhan nya. Atau telaah juga kisah mengenai bagaimana Allah memberitahukan rencana untuk menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Para malaikat memertanyakan Allah dengan pertanyaan yang sangat masuk akal: “Adakah Engkau Wahai Allah hendak menjadikan di bumi itu orang-orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah, padahal kami adalah makhluk Mu yang senantiasa bertasbih dengan memuji Mu dan mensucikan Mu?.” Namun sesungguhnya, bukankah Allah lebih mengetahui daripada segenap makhluk Nya? Dan demikianlah dijawab oleh Nya: “Sesungguhnya Akulah Yang Paling Mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Al Baqarah: 30). Atau telaah juga kisah pembangkangan iblis yang menantang Allah dengan sebuah pernyataan takabbur namun rasional (Al A’raf: 11-13).

Hamba Allah yang minimalis… adakah dirinya telah berubah menjadi seseorang yang beribadah karena rutinitas semata dan melupakan hakikat penghambaan makhluk terhadap Rabb nya. Itupun hanya sebatas ibadah yang wajib-wajib saja dan tanpa peningkatan kualitas diri yang berarti seiring berkurangnya usia.

Dapatkah dirinya berharap akan lulus dari serangkaian tes kesetiaan di hari akhir nanti sehingga terbebaskan dari segala kesengsaraan sebelum mendapatkan segala kenikmatan yang abadi? Sampai di tempat peristirahatan terakhir melalui jalan tol tanpa harus tersendat kemacetan yang menjengkelkan dan penuh penyesalan. Memang mungkin bisa sampai juga di tujuan akhir, namun ibarat siswa yang menempuh bangku pendidikan dengan hanya berharap mendapatkan nilai C dikala ujian nilainya adalah D. Bukankah kelak dia dapat tergelincir mendapatkan nilai F karena target yang dipasangnya sebelum ujian hanyalah C dan ternyata jawaban-jawaban dari prediksi soal-soal yang telah dipelajarinya sedemikian meleset karena pemahaman konsep dan materi yang hanya 55% sedangkan banyak soal yang membutuhkan pemahaman 100%.

Dan kepada siapa dia dapat mengeluh dan menuntut ujian perbaikan dikala dengan pasti dia mengetahui, dirinya telah menjadi orang-orang yang merugi. Pada hari dimana semua penyesalan menjadi tidak berarti, bahkan dengan air mata darah sekalipun.

Meski jalan itu terasa sukar dan penuh rasa sakit (Al Baqarah: 214), dia tahu bahwa dirinya pernah membuat pilihan hidup ibarat sebuah perniagaan dengan Tuhan nya. Dan dia berdoa agar terus diberikan kekuatan untuk melaksanakan pilihan hidupnya dan  berharap bahwa kelak saat jiwanya harus berpisah dari raganya, dia masih setia pada pencipta dirinya. Orang yang telah menjatuhkan pilihan hidupnya sebagaimana demikian memang mungkin tidak sebanyak yang ragu, bimbang, ataupun ignoran meski pilihan itu begitu jelasnya terbentang di hadapan mata.

Sebuah sejarah yang terus menerus berulang dan berulang. Mungkin hati, pendengaran dan penglihatan telah tertutupi (Al Baqarah: 7). Sehingga bila disebut asma Nya tak kunjung hati gemetar atau bertambah iman dikala ayat-ayat Nya dibacakan (Al Anfal: 2). Dan bilapun beribadah tidak lekat batin yang penuh ihsan yang beribadah seakan-akan melihat Tuhan nya, namun ibadah-ibadahnya telah menjelma menjadi sekedar ritual keseharian melepas kewajiban yang miskin hakikat. Atau bila tidak kunjung pula air mata itu jatuh tatkala berkomunikasi dengan Tuhan nya. Bagaimana diri kemudian dapat mengklaim dengan sungguh dan benar-benar mencintai diri Nya?

Di kala pemahaman dan pengamalan mengenai aqidah, ibadah, dan akhlak masih jauh dari memadai. Beruntunglah dirinya yang masih memiliki dua hal yang dia pun tak tahu sampai kapan dua hal itu akan terus ada. Usia dan kesehatan. Syukurnya pada Allah yang telah menjadi pelindung bagi orang-orang beriman, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya (Al Baqarah: 257). Meski dirinya memang belum layak mencapai derajat seorang mu’min (Al Mu’minun: 1-11, Al Anfal: 2-4) namun hanya niat yang lurus, amal yang syar’i dan keikhlasanlah yang membedakan segalanya. Wallahu A’lam.



Komentar